Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais
[1]. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan : “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah, kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yng bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, misalnya, “Demi Ka’bah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”
Begitu pula apabila ia bersumpah dengan mengatakan “demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffarat. Namun, bersumpah dengan meyebut selain Allah adalah haram, dan dilarang berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan menyebut asma Allah atau lebih baik diam saja”[1]
Imam Syafi’i beralasan bahwa asma’-asma’ Allah itu bukan makhluk, karenanya siapa yang bersumpah dengan menyebut asma’ Allah, kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.”[2]
[2]. Imam Ibn al-Qayyim menuturkan dalam kitabnya Ijtima’ al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allakh, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah adalah di atas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat kapan saja Allah berkehendak.”
[3]. Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani, katanya: “Apabila ada orang yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam hati saya, maka itu adalah Imam Syafi’i.”
Saya pernah dengar di masjid Cairo dengan beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya yang ada pada diri Anda?
Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya: “Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini adalah tempat di mana Allah menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh bertanya masalah yang ada dalam hatimu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, Tanya beliau lagi. “Tidak pernah”, jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, Tanya beliau lagi. “Tidak tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, bila terbitnya, bila terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, Tanya beliau. “Tidak tahu”, jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu, ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mahu membicarakan tentang ilmu Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.
Kemudian beliau bertanya kepada saya tentang masalah wudhu’, ternyata jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkanmasalah itu menjadi empat masalah, ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata: “masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justeru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah ketika hal itu berbisik dalam hatimu. Kembali saja kepada firman Allah:
“Ertinya : Dan Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angina dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” [Al-Baqarah : 163-164]
“Karenanya”, lanjut Imam Syafi’i, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.”[3]
[4]. Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya: “Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dngan apa yang diberi nama, sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq.”
[5]. Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i berkata: “Segala puji bagi Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati oleh makhluk-Nya.”
[6]. Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah ini sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk_nya), sebagaimana Allah juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:
“Ertinya : Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia.” [Asy-Syura : 11] [4]
[7]. Imam ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata tentang firman Allah:
“Ertinya : Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” [Al-Muthaffifin : 15]
Ayat ini memberitahu kita bahawa pada Hari Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah dengan jelas.” [5]
[8]. Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya: “saya datang ke rumah Imam Syafi’i, ketika itu ada sebuah pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat anda tentang firman Allah dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalanga dari (melihat) Tuhannya?.”
Imam Syafi’i menjawab, “Apabila orang-orang itu tidak dapat melihat Allah karena dimurkai Allah, maka ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diredhai Allah akan dapat melihat-Nya.”
Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah anda berpendapat seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada Allah”, begitu jawab Imam Syafi’i.[6]
... halaman ke-2
[9]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafi’i ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Isma’il bin Ulayah. Kemudian Imam Syafi’i berkata: “saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “la ilaha illallah”. Saya tidak berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah menciptakan ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).” [7]
10]. Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.” [8]
[11]. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i “Benarkah al-Qur’an itu khaliq (pencipta)?”, Jawab beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Qur’an itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah al-Qur’an itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi “Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i.
Orang tadi bertanya lagi: “mana buktinya bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk?”. Imam Syafi’i kemudian mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Qur’an itu Kalam Allah?” “Ya, mau”, kata orang tadi. Kemudian Imam Syafi’i berkata, “kamu telah di dahului oleh ayat:
“Ertinya : Dan jika di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar Kalam Allah.” [At-Taubah : 6]
“Ertinya : Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung.” [An-Nisa’ : 164]
Imam Syafi’i kemudian berkata lagi kepada orang tersebut: “Mahukah kamu mengakui bahwa Allah itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah itu ada, sedangkan Kalam-Nya belum ada?”. Orang tadi menjawab, “Allah ada, begitu pula Kalam-Nya.”
Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i tersenyum,lalu berkata: “Wahai orang-orang Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah itu ada sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya pendapat bahawa Kalam itu Alah atau bukan Allah?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’i itu, orang tadi terdiam kemudian keluar.[9]
[12]. Dalam kitab Juz al-I’tiqad yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i dari riwayat Abu Thalib al-‘Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:
“Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah, dan hal-hal yang perlu diimani, jawab beliau, “Allah taaraka wa ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang siapapun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah). Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka kafirlah dia. Namun apabila dia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah itu tidak mungkin oleh akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah. Bahwa Allah itu mendengar, Allah mempunyai dua tangan:
“Ertinya ; Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka.” [Al-Maidah : 64]
Dan Allah itu mempunyai tangan kanan :
“Ertinya ; Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah.” [Az-Zumar : 67]
Dan Allah juga mempunyai wajah:
”Ertinya ; Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah.” [Al-Qshash : 88]
“Ertinya : Dan tetap kekal wajah Tuhan mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar-Rahman : 27]
Allah juga mempunyai telapak kaki, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ertinya ; Sehingga Allah meletakkan telapak kakinya di Jahannam.” [10]
Allah tertawa terhadap hamba-hamba-Nya yang mu’min, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang terbunuh dalam jihad fi sabilillah, bahwa kelak akan bertemu dengan Allah, dan Allah tertawa kepadanya.” [11]
Allah turun setiap malam ke langit yang terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: tentang hal itu. Mata Allah tidak pecak sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa : “Dajjal itu buta sebelah matanya, sedangkan Allah tidak buta mata-Nya.” [12]
Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah juga punya jari-jemari berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di antara jari-jari Allah Ar-Rahman.” [13]
Pengertian sifat ini di mana Allah telah mensifati diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal dan fikiran. Orang yang tidak mendengar keterangan tentang hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana juga Allah tidak menyerupakan makhluk apapun dengan diri-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Ertinya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syura: 11] [14]
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Syafi'i, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Footnote
[1]. Shahih Al-bukhari,Kitab Al-Aiman wa An-Nadzar II/530, Shahih Muslim III/266. Manaqib ASy-Syafi’i I/405
[2]. Ibn Abu Hatim, Adab ASy-Syafi’i, hal.193 Al-Hilyah IX/112-113 Al-Baihaqi As-Sunan Al-Kubra X/28
[3]. Siyar A’lam An-Nubala X/31
[4]. Siyar A’lam An-Nubala XX/341
[5]. Al-Intiqa, hal. 79
[6]. Syarh Ushul I’tiqad Ahl As-Sunnah II/506
[7]. Al-Intiqa, hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib Asy-Syafi’i, I/35
[8]. Syarh Ushul I’tiqad Ahl As-Sunnah wal Jama’ah I/252
[9]. Manaqib Asy-Syafi’i, I/407-408
[10]. Shahih Bukhari, Kitab At-Tafsir VII/594, Shahih Muslim Kitab Al-Jannah IV/2187
[11]. Shahih Bukhari Kitab Al-Jihad VI/39, Shahih Muslim, Kitab Al-Imarat III/1504
[12]. Shahih Bukhari, Kitab Al-Fitan XIII/91, Shahih Muslim, Kitab Al-Fitan IV/2248
[13]. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal IV/182. Sunan Ibn Majah I/72, Mustadrak Al-Hakim I/525. Al-Ajiri, Asy-Syari’ah hal. 317, Ibn Mandah, Ar-Rad
[14]. Aqidah Imam Syafi’I ini dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas Leiden, Belanda.
0 Komen:
Catat Ulasan
Pada pendapat anda?